https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Friday, May 29, 2020

BAHAYA JIKA ECONOMIC HITMAN
KENDALIKAN NEW NORMAL

Oleh: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi - anggota DPR RI Fraksi PAN

New-normal harus punya arti bukan hanya pemodal besar, tetapi UMKM juga harus berkembang.
Seperti ternak ayam petelornya Majelis Ekonomi Pimp. Cab. Muhammadiyah Babat, Lamongan 
itupun harus bisa disupport hingga tak terhentikan oleh Covid-19.


NEW NORMAL SAH SEBAGAI WACANA, TETAPI..
Pemerintah melemparkan wacana new-normal untuk mengurangi ketatnya pembatasan berskala besar. Aktivitas ekonomi diperlonggar. Bukan hanya mall yang dipersilahkan aktif, meski dengan sejumlah kewajiban mematuhi protokol kesehatan. Rupanya pemerintah juga tengah berfikir membuka dunia pariwisata. Tentu mudah ditebak berikutnya adalah mengundang sebanyak mungkin investor asing. 

Kebijakan new normal seperti itu sebenarnya sah-sah saja diwacanakan. Tetapi masyarakat banyak menganggap sebagai ide yang belum layak di laksanakan karena hingga awal Juni ini kurva Covid-19 juga belum kunjung melandai.

Mengenai investasi asing tentu harus diberi catatan khusus. Pasalnya tak semua di antara mereka  memikirkan pentingnya keseimbangan hidup dan pelestarian alam. Apalagi keselamatan masyarakat dari hantaman wabah Covid-19. Ada yang hanya berfikir kejar untung meski ada Covid-19 begini, wabah yang jelas telah merenggut ribuan nyawa, jutaan orang kehilangan mata pencaharian, kelelahan para petugas medis dan rasa frustasi melihat sejumlah rekannya jadi korban, meninggal karena merawat pasien. 

Bagi sebagian investor, kondisi darurat itu membuat mereka menahan diri. Tetapi dikhawatirkan ada yang tak tersentuh hatinya sehingga tetap berusaha berburu keuntungan dengan cara sembarangan. 

PENGAKUAN PERUSAK EKONOMI NEGARA BERKEMBANG
Masih ingat John Perkins (2005) yang pernah membuat pengakuan, jadi agen perusak ekonomi negara-negara berkembang. Jika John Perkins "bertaubat" dan menulis buku pertaubatan, apakah langkah dia diikuti oleh yang lain? Pengakuan Perkins itu  ditulis dalam bukunya Pengakuan Seorang Perusak Ekonomi, Confessions of an Economic Hit Man - New York: Berret-Koehler Pub (2005). Ia mengaku pernah menjalankan misi sebagai pelaku perusak ekonomi negara-negara berkembang dengan menggunakan berbagai cara. 

Dikatakannya tak segan melakukan penipuan dan kecurangan dalam laporan keuangan, melakukan pemilu curang, termasuk ancaman, teror, kekerasan dan bahkan kudeta adalah cara asing menguasai dan mengeruk kekayaan negara-negara berkembang.  

Jika saja Perkins menulis pengakuannya itu di era sekarang, era digital, era industry 4.0, saya yakin Perkins akan menambahkan cara-cara perusak ekonomi itu menggunakan cyber army dan buzzer untuk menghalau dan mendemoralisasi kelompok kritis. Bahkan juga dikawal milisi dan tentara bayaran yang memiliki keahlian luar biasa melebihi keahlian pasukan elite yang dimiliki negara berkembang.

Kalau yang ditulis Perkins tentang Economic Hit Man "Perusak Ekonomi" tersebut benar, tentu dahsyat daya rusaknya daripada daya rusak yang dibikin teroris-teroris yang hanya bersenjata bom rakitan dengan pelaku orang-orang miskin atau ekonomi pas-pasan. Barangkali juga tak kalah dahsyat daya rusaknya dengan yang ditimbulkan wabah Covid-19. Bayangkan Perkins menggambarkan kaum profesional dengan bayaran tinggi melakukan praktik penipuan dalam jumlah triliunan dolar terhadap banyak negara di seluruh dunia, terutama negara berkembang.


Dalam rangka menjaga kelangsungan ekonomi affluent mereka, kelompok bergelimang uang ini terus berekspansi. Sedapat mungkin seluruh ruang kehidupan di permukaan bumi ini harus berada dalam kontrol mereka dengan mengerahkan seluruh kekuatan, meminjam bahasa Kenichi Ohmae, melibatkan empat “I” —investasi, industri, individu, dan informasi (Kenichi Ohmae, Hancurnya Negara-Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, 2002).



Ohmae tidak sekritis dan setajam nyinyirnya John Perkins. Namun, sebenarnya kalau saja Ohmae jujur, tidak hanya empat “I”, tetapi sebagaimana belakangan semakin terlihat menyolok, kelompok “affluent fundamentalis” atau “fundamentalis berkelimpahan,” tersebut melengkapi alat ekspansi mereka dengan alat-alat represif, terutama kekuasaan, lembaga peradilan dan militer. NEW NORMAL JANGAN DITUNGGANGI PERUSAK EKONOMI
Tentu di era new normal nanti, rakyat tidak ingin negeri ini dimasuki economic hitman. Masuknya mereka yang berbaju investor asing, tetapi sesungguhnya adalah economic hitman - perusak tatanan ekonomi. Datang ke sini mengambil keuntungan, tanpa peduli meninggalkan kerusakan lingkungan maupun tatanan ekonomi, politik maupun sosial kemasyarakatan kita.

Guna pemulihan ekonomi di era Covid-19 memasuki tahap new normal, yang dibutuhkan adalah investor asing yang berjiwa benevolent, yang bukan hanya keuntungan mereka sendiri yang ada di pikiran, tapi juga berpikir tentang keseimbangan alam dan harmoni tatanan kehidupan manusia. Investor yang mau mensupport UMKM dan menjalin kemitraan inti-plasma dengan masyarakat. Dengan demikian kehadiran industri strategis yang digarapnya bukan menjadi penghisap, sebaliknya punya income generating activity bagi masyarakat.

Tuesday, May 26, 2020

PEMBELAJARAN AUTHENTIC DI TENGAH COVID



Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi , anggota Komisi X DPR RI, Fraksi PAN

Sewaktu berkunjung ke Perth, saya sempat ketemu sejumlah Guru klas VIII SMP Santa Maria. Mereka tergabung satu team teaching dalam mata pelajaran Society and Environment.  Pendekatan yang digunakan authentic learning. Mereka bawa siswanya ke Kings Park, sebuah taman yang menjadi icon wisata di ibu kota Australia Barat. 


Anak-anak diminta menggambar apa saja yang dianggap menarik, lalu diminta  mendiskripsikan apa yang digambar termasuk alasan mengapa tertarik obyek yang dipilihnya itu. Ada yang menggambar tanaman, juga hewan. Ada yang tertarik melihat kapal pesiar yang tengah melintasi  Swan River dari satu spot pemandangan di Kings Park. Ada pula yang menggambar indahnya view kota Perth dilihat dari Kings Park. 

Hasilnya menarik dan beraneka ragam. Dari para siswa itu saya sempat melihat goresan tangan yang menggambarkan minat maupun kekayaan imajinasi mereka. Dengan pendekatan pembelajaran autentik, memang, membuat siswa tidak hanya belajar secara abstrak, tetapi belajar lebih nyata, dan kontekstual.  Dengan pendekatan pembelajaran autentik, siswa belajar dengan mengalami, sehingga siswa punya pengalaman. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?!

Membaca ungkapan pengalaman saya itu ada yang berkomentar begini. Menarik kalau pendekatan authentic learning dikembangkan. Bisa lebih efektif emang. Bisa mencerdaskan kognisi, afeksi sekaligus kekuatan motorik siswa. Tetapi kan kelemahannya memerlukan waktu banyak, target kurikulum bisa nggak kecapai, padahal untuk lulus unas kan harus terpenuhi,  kalau muatan kurikulum tidak terpenuhi, lalu tidak lulus unas, bisa fatal.

LULUS UJIAN YANG MASUK ALAM BAWAH SADAR, BUKAN KOMPETENSI 
Saya katakan begini. Disayangkan kalau dalam pendidikan yang dikejar adalah nilai ujian dan bukan kompetensi. Hal itu bisa dimengerti karena rezim unas sangat dominan, menguasai hingga alam bawah sadar guru, siswa, orang tua hingga semua pejabat di negara ini. Tetapi kehidupan membutuhkan kompetensi bukan nilai ujian.

Apalagi ujian yang  dilaksanakan banyak menggunakan objective test seperti yang dipakai dalam ujian nasional. Jelas hal itu sangat tidak memadai untuk dapat menghantar siswa menjadi manusia yang berkompeten. Mengapa demikian, karena kompetensi itu merupakan perpaduan tiga hal yaitu kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Menggunakan Taksonomi Bloom , kompetensi merupakan perpaduan antara cara kecerdasan kognitif psikomotorik dan juga afektif. Sedangkan ujian Nasional hanya habis untuk mendorong dan memacu kecerdasan kognitif. 

Ujian nasional yang dilaksanakan selama ini lebih banyak diwarnai tradisi behaviorismDalam tradisi behaviorism kata Mary James evaluasi prestasi siswa dilakukan dengan melihat level hirarki prestasi, dan menekankan benar atau salah (lihat Gardner, 2006:55). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bentuk objective test dengan lebih sering menggunakan sistem tertutup, seperti multiple choice, pencocokan (matching), menyempurnakan (completion) dan salah atau benar (true-or false). 

Tetapi saya lebih tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Wiggins (1998). System evaluasi akan efektif jika didasarkan pada prinsip-prinsip penilaian autentik (authentic assessement). Penilaian dalam hal ini dilakukan dalam konteks pembelajaran yang nyata. Di dalamnya disusun model evaluasi yang mendorong siswa mampu melakukan konstruk dan rekonstruksi pengetahuan secara autentik, menumbuhkan disiplin mencari (inquiry) informasi, pengetahuan dan nilai-nilai untuk memecahkan masalah. Bukan hanya memecahkan masalah di sekolah tetapi dalam kehidupan nyata di luar sekolah.

Pernyataan saya itu diberi catatan begini. Sistem pembelajaran autentik perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan karena akan lebih mudah diterima oleh siswa dan diterapkan langsung di lapangan.

Tentu saya sangat setuju. Kiranya tepat, kalu sistem pembelajaran autentik lebih dikembangkan dalam sistem pendidikan. Di samping lebih mudah diterima oleh siswa dan diterapkan langsung di lapangan, juga hasilnya efektif. 

Namun sayang, guru kita kehilangan kesempatan untuk bereksplorasi dalam model pembelajaran autentik. Guru kita lebih banyak bereksplorasi dalam pembelajaran konservatif, karena cara ini efektif untuk menyiapkan siswa didik berhasil dalam ujian nasional.

PEMBELAJARAN AUTHENTIC DI  TENGAH COVID
Bisakah pembelajaran autentik diterapkan di masa pandemic Covid-19 yang pendekatannya lebih banyak menggunakan pembelajaran jarak jauh?

Tentu saja bisa. Tetapi memang memerlukan kreasi untuk bisa memodifikasi. Misalnya guru tetap bekerja dalam team. Desain pembelajarannya dikemas bersama, kemudian disampaikan kepada siswa menggunakan metode daring.

Mengenai  objeknya yang harus dipelajari dicari yang ada di rumah. Jadi tidak harus keluar rumah. Model belajarnya juga didesain secara individual sehingga tidak harus dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok. Gunakan media by utility dengan memanfaatkan apa yang ada tetapi relevan dengan pokok bahasan dan bisa diperoleh di dalam atau di sekitar rumahnya sendiri. Selanjutnya guru tinggal memonitoring dengan metode daring. 

Mengenai  evaluasinya dilakukan menggunakan portofolio . Anak-anak bisa diberi kesempatan untuk menggunakan Smartphone guna merekam, memvideo dan mendokumentasikan apa yang sudah dilakukan. Tentu bisa juga memanfaatkan berbagai platform atau aplikasi yang mudah didapat di website untuk upload apa yang dilakukan. 

Dengan begitu anak-anak juga bisa semakin fasih menguasai teknologi digital, sekaligus dapat upload dan publikasikan progres pembelajarannya. Dari publikasi mereka, kemudian guru bisa melihat perkembangan pembelajaran melalui portofolio anak-anak didiknya

Monday, May 25, 2020

GILA KURVA COVID-19 BELUM KUNJUNG TURUN
Pasti ada aspek GILA yang belum optimal


Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi, Anggota DPR RI Fraksi PAN

Keinginan Presiden Jokowi agar kurva Covid-19 menurun di bulan Mei rupanya belum dapat terpenuhi. Kabar baiknya data pasien sembuh terus bertambah. Tetapi kasus positif dan yang meninggal masih menunjukkan penambahan. Butuh bantuan dan kesadaran semua pihak untuk melandaikan kurva Covid-19.

Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 Achmad Yurianto, di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha BNPB, Senin (25/5/2020) menyebutkan ada sebanyak 240 orang yang sembuh sehingga totalnya menjadi 5.642 orang. Sedangkan yang positif 22.750 setelah ada penambahan 479 orang. Adapun yang meninggal menjadi 1.391 setelah ada tambahan 19 orang.

Tentu saja Presiden Jokowi telah mencoba mengerahkan seluruh elemen. Setidaknya begitulah klaimnya. Bukan hanya jajaran pemerintah, tetapi juga organisasi sosial kemasyarakatan, relawan, parpol, swasta, organisasi masyarakat dan keagamaan untuk melakukan apa saja dengan segala cara. Namun ternyata belum bisa membuat kurva Covid-19 turun akhir Mei 2020.

Padahal partisipasi masyarakat cukup meluas. Hingga pertengahan Mei, Muhammadiyah dan Aisiyah misalnya sudah berdonasi Rp 130 milyar dengan menggerakkan 60.000 relawan. Sementara itu NU juga bergerak dengan program kemanusiaan “NU Care for Humanity”nya.

ASPEK GILA YANG BELUM OPTIMAL
Karena kurva Covid-19 belum turun, maka perlu dilakukan evaluasi. Mengingat elemennya banyak masing-masing harus terintegrasi dalam sebuah system, maka perspektif fungsionalismenya Durkheim bermanfaat untuk memandu evaluasi system penanganan Covid-19 ini.

Menurut fungsionalisme nya Durkheim yang kemudian bangunan teorinya disempurnakan oleh Parsons, sebuah system akan berjalan dengan baik jika prasyarat  yang dibutuhkan yaitu GILA dapat bekerja optimal. GILA yang dimaksud adalah  Goal attainment - tujuan yang hendak dicapai,  Integration - elemen-elemen system yang terintegrasi, Latent maintenance - unsur laten pelestari system dan Adaptation - kemampuan masing-masing elemen system beradaptasi terhadap kondisi di dalam maupun di luar system.

Evaluasi harus dilakukan untuk menemukan elemen GILA mana yang tidak fungsional. Karena bisa jadi ada elemen yang tidak adaptif dan tak terintegrasi. Mungkin juga unsur latent maintenance yang bisa dijadikan penguat system tak termanfaatkan dengan baik. Atau ada elemen yang tidak memahami goal yang sebenarnya hendak dicapai sehingga tak membuahkan kinerja maksimal.

DIKHAWATIRKAN BAD POLICY DIIKUTI BAD EXECUTION
Tentu yang dikhawatirkan tidak kunjung melandainya kurva Covid-19 disebabkan kelemahan bukan hanya pada saat eksekusi tetapi sejak dari pembuatan policy. Bad policy diikuti bad execution, menghasilkan bad result.

Pilihan kebijakan atau policy termasuk latent maintenance yaitu aspek laten yang bisa memelihara kelangsungan system. Oleh karena itu perlu dievaluasi karena boleh jadi memang tidak tepat. Atau mungkin kebijakannya sudah tepat, tetapi pelaksana kebijakannya tidak mampu mengeksekusi sebagaimana yang diharapkan.

Munculnya sejumlah pihak yang belakangan nyaring menyuarakan perlunya reshufle kabinet, seperti dilontarkan juru bicara PSI, Dara Nasution sebagaimana dikutip Rakyat Merdeka, Selasa (19/5/2020) mungkin perlu disimak. Tentu sebenarnya yang diharap adalah kurva Covid-19 yang turun, bukan turunnya isu reshufle kabinet ke tengah publik.

Aneh memang di tengah diperlukan konsentrasi pandemi, yang diluncurkan isu reshufle. Tetapi setidaknya suara ini dapat diartikan sebagai isyarat ada titik lemah di jajaran pembantu Presiden dalam eksekusi kebijakan penanganan Covid-19.

Dalam menghadapi kompleksitas masalah penanganan pandemi corona ini, Presiden tentu saja perlu memiliki pembantu yang responsif. Satu tim kerja yang adaptif dan terintegrasi dalam mencapai target. Tim yang bisa bergerak cepat, tegas dan tepat menghadapi begitu banyak masalah kompleks yang bermunculan setiap saat.

SUMBER KETIDAK PATUHAN MASYARAKAT
Jika melihat dari sisi kebijakan (policy), sulit ditutupi adanya kebijakan penanganan pandemi yang berubah-ubah. Kebijakan seperti ini menimbulkan kebingungan masyarakat. Sebut saja misalnya masyarakat dilarang mudik, tetapi dibuka layanan transportasi.

PSBB terus dilakukan perpanjangan, tetapi tidak ada ketegasan dalam mengeksekusi peraturan. Orang di larang berjamaah di rumah-rumah ibadah, tetapi kerumunan di pasar dibiarkan. Bahkan menyelenggarakan konser diijinkan.

Ketidak tegasan inilah yang kemudian menjadi sumber ketidak patuhan masyarakat. Banyak warga masyarakat yang bertindak semaunya sendiri. Banyak yang tidak mau mematuhi aturan pembatasan berskala besar yang diterapkan pemerintah. Tak urung bermunculan klaster-klaster penyebaran wabah. Angka pasien pun terus bertambah.

Banyaknya pasien yang harus dirawat di rumah-rumah sakit. Rumah Sakit overload. Para tenaga medis tak hanya dibuat lelah tetapi juga frustasi, karena di antara mereka sendiri juga ada yang kemudian jatuh menjadi korban. Rasa frustasinya lalu dituangkan kedalam tagar #Indonesia Terserah. Tak pelak tagar ini jadi viral di media sosial.

FOKUS KESEHATAN BARU PEMULIHAN EKONOMI
Dalam kaitannya dengan rumusan tujuan (goal attainment) dalam penanganan Covid-19 ini ada baiknya mendengarkan kritik mantan Wapres Jusuf Kalla. JK menilai langkah pemerintah mengatasi corona kurang tepat, karena lebih mempertimbangkan pemulihan ekonomi ketimbang prioritas kesehatan. Seharusnya menurut JK pemerintah fokuskan energinya untuk menekan virus corona dulu sampai kurva kasus positifnya menurun. Jika kurvanya sudah melandai baru kemudian beralih ke pemulihan ekonomi.

"Prioritas pertama menyelesaikan virusnya. Menahan, mengurangi, mematikan, karena inilah sebabnya," ungkap JK dalam diskusi webinar bertajuk "Segitiga Virus Corona" Universitas Indonesia, Selasa (19/5) seperti dikutip Kumparan (20/5).

Presiden telah meminta dari aspek kesehatan, turunkan kurva Covid-19 akhir Mei 2020, dengan segala daya. Goal ini belum bisa terpenuhi. Mungkin tak sepenuhnya difahami oleh para pembantunya. Oleh karena itu guna menekan kurva Covid-19, Presiden membutuhkan pembantu yang mampu memahami goal yang sebenarnya hendak dicapai.

DUA PILIHAN JALAN KELUAR
Pilihan jalan keluarnya ada dua. Pertama, memaksimalkan para pembantunya yang ada di kabinet sekarang dengan asumsi mereka masih bisa didorong untuk kerja lebih keras. Kedua mereshufle hingga diyakini bisa dimunculkan tim kerja yang lebih responsif.

Oleh karena itu terpulang kepada Presiden. Mengkonsolidasikan kabinet yang ada atau mereshufle, hal itu merupakan hak prerogatif Presiden. Namun yang penting dicatat, bukan hanya Presiden, tetapi seluruh rakyat Indonesia ingin Covid-19 kurvanya segera turun dan bahkan angkat kaki dari negeri ini.

Saturday, May 23, 2020


COVID-19 UBAH BUMI JADI PLANET RUMAH SAKIT
Tidak hentikan perilaku pemburu rente kejar untung saja


Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi.anggota Komisi X DPR RI F-PAN


Wabah Covid-19 hingga akhir Mei 2020 ini kurvanya belum kunjung melandai, membuat rumah-rumah sakit kita kekurangan ruang pasien. Boleh dikata seluruh ruang isolasi terisi. Meminjam istilah pemikir kritis asal Austria yang tinggal di Mexico, Ivan Illich, bumi kita telah menjelma menjadi planet rumah sakit.

Sebelum ada Covied-19, bumi kita sudah serasa jadi planet rumah sakit. Polusi udara ada dimana-mana hingga dengan gampang merusak saluran pernafasan. Laut dan sungai steril dari unsur-unsur keseimbangannya. Tanah subur berubah jadi infertil. Limbah kimia mencemari air maupun udara.

Udara bersih masih tersisa, hanya sedikit di kawasan jauh di pinggiran sana. Di kota besar ada, tetapi di tabung-tabung chamber hyperbaric. Di samping harus berbayar mahal untuk bisa mendapatkannya, juga tidak aman. Tiga tahun lalu, tabung hyperbaric milik sebuah rumah sakit di Jakarta menelan korban. Safety valvenya terbuka lalu menimbulkan ledakan. Empat orang yang melakukan terapi di dalamnya tak terselamatkan.

Kesemua itu terjadi akibat cara kerja para pemburu rente yang ada dalam pikiran hanyalah menimbun keuntungan. Mereka buru keuntungan, tanpa peduli untuk berusaha mengharmoniskan produksi dengan keseimbangan alam dan kehidupan manusia.

Sudah begitu Covied-19 lalu kini datang dan tampak tak terkendalikan. Korban berjatuhan. Membuat seluruh rumah sakit siaga satu, pagi, siang dan malam tak kenal waktu. Begitulah lalu bumi kita menjadi serasa planet rumah sakit.

Pertanyaannya, berubahkah perilaku pemburu rente? Akankah mereka jadikan ancaman Covid-19 sebagai pengetuk hati untuk peduli akan rasa keadilan, keseimbangan dan penciptaan hubungan harmoni antara alam dengan manusia?

Fakta yang kita dapatkan di lapangan, sejumlah pengusaha bermodal asing tetap saja memaksa beroperasi di tengah pandemi dengan ideologi pertumbuhan yang membara. Sehingga bisa tidak pedulikan penutupan bandara dari kementerian perhubungan yang bermaksud memotong persebaran pandemi.

Para pemburu rente itu bahkan melengkapi diri dengan alat produksi yang lebih canggih. Sejalan dengan tumbuhnya industry 4.0 mereka lengkapi dengan beraneka platform digital dengan kemampuan super dalam mengolah big data. Ditambah dengan kemampuan lobby dengan para pengambil keputusan, mereka bisa ambil dengan mudah proyek-proyek strategis.

Para pemburu rente tentu saja berusaha menjaga kerapian kerja, sehingga publik bisa diyakinkan bahwa yang mereka lakukan telah didasarkan hasil riset dan survey. Caranya pesanan itu dikirim ke berbagai konsultan penelitian, poltracking, lembaga survey atau yang semacamnya.

Lembaga-lembaga riset dan survey itu kemudian mengembalikan kepada pemburu rente atau mengumumkan kepada publik berbagai rekomendasi dan pembenaran.

Kalau saja rekomendasi lembaga-lembaga survei ini bukan hanya memberi pembenaran tetapi juga memberikan rekomendasi yang jernih, maka bisa jadi lahir pelaku bisnis dan industri yang dermawan, benevolent - yakni pelaku usaha dan industri yang peduli untuk menjaga kelestarian, keseimbangan dan harmony alam kehidupan dan umat manusia.

Jika saja itu yang terjadi maka bumi kita tidak akan menjadi planet Rumah Sakit, melainkan akan menjadi planet yang indah bagaikan untaian zamrud, dan bahkan bagaikan potongan surga yang ditempatkan di muka bumi.

Friday, October 18, 2019


DI ERA POLITIK LIBERAL,


Di ruang yang gelap sebatang korek api pun bermanfaat



Prof. Zainuddin Maliki, ketiga dari kiri.

Sebatang korek api pun bermanfaat jika dinyalakan. Ia bisa menjadi penerang. Setidaknya untuk menemukan jalan keluar di tengah ruang yang gelap. Pikiran itu disampaikan Prof. Zainuddin Maliki, anggota DPR RI Fraksi PAN di depan audiens diskusi publik “Parlemen Baru: Harapan dan Tantangan di Era Politik Liberal,” yang digelar Forum Instruktur Nasional PAN kerjasama Universitas Muhammadiyah Jakarta kemarin (18/10).

Pikiran itu disampaikan menjawab tanggapan senada dari Dekan FISIP UMJ – Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, Fadli Ramadhanil SH, MH - Program Manajer PERLUDEM, Ketua Presma BEM UHAMKA Jakarta – Arif Rahman Hakim, Ketua PBHMI – Arya Kharisma, Ketua DPP IMM – Najih Prasetiyo dan Fathurrohman Fadli, MSi – dosen UNPAM, bahwa hadirnya sosok baru di DPR hasil pemilu 2019 tidak akan merubah keadaan.

Pada intinya mereka menyatakan bahwa anggota DPR baru meski jumlahnya hampir separoh dari 575 anggota yang ada tidak akan beda dengan DPR yang lama, karena dihasilkan dari system yang buruk. “Kalau systemnya buruk, pasti hasilnya pun buruk,” tegas Ma’mun. “Agar politik tidak semakin liberal, oleh karena itu systemnya harus diubah. Kembalikan kepada system pemilu tertutup dan lakukan amandemen untuk kembali ke UUD 1945 yang asli,” tambahnya.

Bagi Zainuddin Maliki, mengembalikan kepercayaan masyarakat memang tidak mudah di tengah-tengah mosi tidak percaya mahasiswa kepada DPR. Apalagi monetisasi terjadi di hampir semua proses pemilu dan bahkan proses politik, telah menjadikan politik berongkos mahal.

“Ibarat nyala sebatang korek api, memang tidak akan cukup untuk memberi penerang seluruh ruang, tetapi setidaknya bisa dijadikan lentera untuk menemukan jalan keluar,” ungkap anggota DPR RI Fraksi PAN dari Dapil X –Gresik Lamongan, Jawa Timur ini. “Saya ingin menyalakan meski hanya jadi sebatang penthol korek api,” ungkapnya.

Mengenai perubahan system politik mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu menegaskan bahwa negeri ini sudah berulang kali merubah system pemilu, hasilnya kita masih berada di halaman belakang di Asia yang kini memimpin pergeseran ekonomi dunia.

“Sedihnya lagi kita bukan hanya menjadi soft state seperti yang dilansir Gunnar Myrdal. Kita sedang berada dalam posisi leadershipless state – negara yang tidak memiliki pemimpin yang kredibel, yang memiliki integritas dan kapasitas untuk melakukan trajectory ke halaman depan Asia Baru,” tegas anggota Fraksi PAN yang baru pertama terpilih sebagai anggota DPR itu.

Jadi problemanya bukan pada pilihan system, melainkan ada pada faktor manusianya. Di tangan manusia yang insyaf dan waras, system yang buruk pun bisa membuahkan hasil baik.

Menurut Zainuddin, di tengah monetisasi politik yang menyebar seperti sekarang ini kita masih bisa mengajak masyarakat untuk insyaf dan berfikiran waras dengan memilih bukan karena uang, tetapi karena pertimbangan politik nilai.

"Kami berhasil meyakinkan setidaknya 51 ribu lebih pemilih saya akan pentingnya jihad politik nilai," ungkapnya. "Jadi saya tidak memberi uang kepada pemilih. Pemilih yang memberi uang saya. Pemilih juga yang mempersiapkan segala sesuatunya untuk tatap muka selama kampanye," demikian pungkasnya.
n3f

Tuesday, October 15, 2019

LEADERSHIPLESS STATE YANG MUNCUL JIKA DEMOKRASI SERBA BERBAYAR



Oleh: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi.

Saya kira Arteria Dahlan berjasa melambungkan nama Edward Aspinall. Profesor dari Departemen Perubahan Sosial dan Politik, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University ini sekonyong-konyong terkenal di Indonesia. Hal itu berkat Arteria Dahlan yang tampak bersitegang dengan Prof. Emil Salim di salah satu acara televisi yang kemudian menjadi viral.

Andaikata tidak ada peristiwa itu, saya kira apa yang disampaikan Prof. Emil Salim akan terkesan datar-datar saja. Saat itu Prof. Emil menggambarkan pemilu di negeri ini belum bisa melahirkan pemimpin yang kredibel sembari menyebut buku barunya Aspinall yang ditulis dengan Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism and the State in Indonesia (2019).

Pemilihan yang kita jalankan kata Prof. Emil belum tentu kredibel. “Memang betul politisi sekarang ini dipilih, tetapi apa betul dipilih dengan benar. Berapa ongkos yang dikeluarkan. Darimana uang itu didapatkan," cecarnya yang membuat perdebatan dengan Arteria Dahlan itu jadi panas. Sekaligus ketegangan itu memicu orang merasa perlu baca bukunya Aspinall.

Banyak yang penasaran tentang isi buku ini. Dalam bukunya, Aspinall mengurai keanehan dalam demokrasi di negeri ini. Ada jejaring dan berbagai strategi politik yang tak beraturan untuk mengejar kekuasaan dan privilese dalam politik Indonesia kontemporer.  Ada koneksi dan pertukaran yang bercorak personal dan klientalistik.

Aspinall rupanya tidak berani bilang pertukaran itu dilakukan terang-terangan atau kasat mata. Dikatakan semua itu dilakukan di pasar gelap alias terselubung. Semua tingkat dan institusi formal dibayangi praktik pertukaran berdasar relasi klientalisme itu. Mereka yang memenangi pemilu, adalah mereka yang bisa mendistribusikan berbagai projek, memberi uang tunai atau barang kepada para pemilih. Masyarakat pun berharap memperoleh pemberian itu.

Aspinall juga menyediakan jawaban terhadap pertanyaan Prof. Emil Salim tentang darimana uang diperoleh oleh peserta pemilu. Dalam buku ini dilaporkan dana kampanye antara lain diperoleh dengan cara memperjual-belikan kontrak, perizinan dan berbagai manfaat lain kepada para pengusaha. Dari sini terbentuk relasi pelaku ekonomi dengan kekuasaan.

Kalau ada pepatah yang menyatakan, musuh terberat adalah kawan terdekat, begitulah Aspinall memperoleh data. Para peserta pemilu terlibat dalam pertarungan yang tak ada ujungnya dengan politisi saingan mereka, di samping juga dengan birokrat. Mereka berebut kendali berbagai sumber daya negara dalam rangka membiayai kegiatan politiknya.

Peserta pemilu bukan bergantung pada partai. Mereka lebih banyak bergantung pada struktur organisasi yang bersifat sementara dan personal yaitu  tim sukses. Tim ini yang mengelola kampanye mereka. Koneksi personal karena hubungan kekerabatan, pertemanan, jaringan usaha, agama atau pun suku mengalahkan loyalitas pada partai.

Para agen politik digambarkan oleh Aspinall sering melelang jasa mereka kepada penawar tertinggi. Birokrat, dan bukannya partai, yang memegang kendali atas sumber daya negara, merekalah aktor kunci dalam kampanye pemilu (lihat http://obor.or.id/index.phproute=product/product&product_id =860).

Sebagai pelaku dalam pemilu 2019 menjadi calon DPR RI dari PAN  Dapil X Jatim saya merasakan sendiri di lapangan seperti gambaran Aspinall. Nyaris semua tahapan pemilu, mulai dari persiapan, tahapan pengumpulan dan penghitungan suara serba berbiaya. Boleh dikata telah terjadi monetisasi dalam pemilu, notabene salah satu fungsi pemilu adalah sebagai perwujudan system demokrasi.

Beruntung monetisasi itu benar-benar dapat saya hindari selama mengikuti kontestasi pada pemilu 2019. Saya tidak terbawa arus utama monetisasi itu. Banyak yang sangsi dengan apa yang saya lakukan. Tetapi kemudian terkejut ketika melihat hasil penghitungan suara. Ternyata masih ada masyarakat yang memilih berdasarkan politik nilai, dan bukan monetisasi seperti yang ditunjukkan pemilih saya di Gresik dan Lamongan Jatim.

Kendati demikian benar seperti yang dikatakan Aspinall bahwa yang menentukan kemenangan saya adalah struktur organisasi yang bersifat ad hoc yaitu  tim sukses. Tim ini yang mengelola kampanye saya. Namun dengan catatan tebal, bahwa tim bekerja bukan atas dasar monetisasi melainkan dilaksanakan atas dasar spirit voluntaristik.

Hanya saja benar, monetisasi pemilu telah menjelma menjadi arus utama dalam mengakses jabatan politik. Inilah yang dikhawatirkan Prof. Emil Salim, monetisasi bisa menyebabkan pemilu tidak otomatis menghasilkan pemimpin yang kredibel.

Kalau pemilu berongkos mahal tetapi tidak lahir pemimpin kredibel, maka negeri ini terancam mengalami leadershipless - negeri tanpa pemimpin kredibel. Berbahaya jika pemimpin yang muncul yang tidak memiliki integritas dan kapasitas. Akibatnya aset negara tak terurus, yang diurus salah urus. Sementara itu berbagai elemen bangsa terjerumus dalam pertengkaran tak berkesudahan karena tak terkonsolidasi. Tentu keadilan dan kesejahteraan juga tidak akan tumbuh dengan baik.

Friday, October 11, 2019

BEGINI CARA MENGINTIP RELASI NEGARA DENGAN RAKYAT

Caption: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi (kiri) dengan MY Zaini dan Ridwan Hisyam FPG (kanan).

Ingin membaca relasi ruling elite atau negara dengan rakyat? Relasi itu bisa di lihat ketika negara hadir di berbagai isu dan masalah krusial. Melihat cara penanganan anarkisme akhir-akhir ini, misalnya. Di beberapa kasus telihat ada jarak psikologis antara elite dengan rakyat yang berperilaku anarkis. Membaca gejala seperti ini ada baiknya untuk melihat sebenarnya seperti apa pola relasi negara dengan masyarakatnya.

Guna melihat relasi negara dengan rakyat  seperti apa, bisa baca catatan Eric A. Nordlinger dalam  tulisannya, Taking the State Seriously (1994). Di situ Nordlinger melihat relasi negara dan rakyat dengan mengukur derajad otonomi negara (state autonomy) dan tinggi rendahnya dukungan masyarakat terhadap negara (societal support for the state) yang bersangkutan. Dia gambarkan empat tipologi dalam hal ini, type negara kuat ditandai dengan otonomi kuat dukungan tinggi. Type negara independen - otonomi tinggi dukungan rendah. Type negara responsive - otonomi rendah dukungan tinggi. Type negara lemah - otonomi dan dukungan lemah. 

Untuk kepentingan  menganalisis tema tulisan ini  kita coba  masuki dua tipologi yang tersebut pertama di atas. Pertama dalam tipologi negara kuat (strong state), negara memiliki otonomi yang kuat dan memperoleh dukungan tinggi dari rakyat. Negara di tangan elite benevolent berpeluang besar bagi tumbuhnya tipologi negara kuat karena benevolent elite  tampil bijak. Selalu hadir di tengah masalah dan banyak menebar kebajikan di tengah masyarakat. Mereka buka ruang partisipasi  dan berusaha menghindari mobilisasi.  Aturan dipatuhi dan dilaksanakan dengan tertib dan adil. Mereka memiliki kapasitas dan keahlian dalam mengorganisir modal finansial maupan sosial. Kekuasaan bukan untuk dirinya sendiri (power for himself) tetapi untuk menciptakan kebaikan bersama.

Kedua, berbeda dengan negara kuat, tipologi negara independen dalam hal ini negara memiliki derajat otonomi tinggi tetapi dukungan dan legitimasi dari rakyat rendah. Dalam negara dengan otonom tinggi berpotensi besar negara memiliki agenda dan kepentingan yang tidak sama dengan kepentingan rakyat. Negara punya interest sendiri berbeda dengan aspirasi  dan interest rakyat. 

Di dalam tipologi negara independen,  elite cenderung menggunakan hukum pilihan rasional (rational choice). Preposisi teori rational choice menyebutkan bahwa setiap orang (baca: elite) dinilai wajar jika memaksimalkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan orang lain (baca: rakyat). 

Dengan preposisi pilihan rasional itu maka di dalam negara independen mudah tumbuh kultur dan model mental elite yang cenderung tebang pilih dalam menjalankan hukum, aturan dan perundang-undangan. Dalam menangani anarkisme, elite akan bereaksi cepat jika korbannya adalah properti, simbol, lambang atau representasi kepentingan kekuasaan, tapi tidak demikian responnya ketika yang mendapat musibah, bencana atau jadi korban kekerasan adalah rakyat.

Kenapa harus lewat kekerasan? Ternyata masih ada saja masyatakat yang belum kunjung menyadari, bahwa kekerasan dalam praktik justru melahirkan kekerasan baru. Coba lihat terorisme yang marak di negeri ini hanya memicu negara untuk memperkuat aparatur represif secara sistematik. Lihat saja, teror di Jalan Thamrin Jakarta, Januari 2016, juga bom tak bermoral di Surabaya, Sidoarjo dan Riau 2018, semakin menaikkan hasrat negara meminta legitimasi peraturan perundangan untuk memperkuat tindakan represivenya. 

Harus dicatat bahwa hanya negara yang diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan. Namun  kekerasan negara (state violence) hanya boleh digunakan sesuai undang-undang. Jika tidak sesuai peraturan dan perundangan yang ada justru bisa menginspirasi dan mengkonspirasi lahirnya kekerasan masyarakat, terutama ketika penggunaan kekerasan yang sah oleh negara itu digunakan secara berlebihan. Negara diberi kewenangan untuk menjalankan dan menggunakan aparatur represif dimaksudkan untuk menciptakan tertib sosial (social order) dan mencegah agar tidak terjadi dan tidak berjalan hukum homo homini lupus di mana manusia berubah menjadi serigala bagi manusia yang lain yang saling memangsa.

Adalah para penganut mazhab Frankfurt yang sadar bahwa radikalisme dan revolusi berdarah yang ditawarkan eksponen Marxisme ortodok hanya melahirkan kekerasan baru dan tidak bisa membantu upaya mencapai tujuan yang dicita-citakan. Semua itu telah memberi pelajaran kepada para eksponen teori kritis yang dimotori eksponen dari mazhab Frankfurt untuk tidak menyarankan kekerasan sebagai jalan keluar. Mereka lebih menyarankan untuk membangun gerakan kultural dan intelektual dalam melakukan perlawanan terhadap tekanan struktural.